Suku Jawa dikenal sebagai suku
dengan jumlah populasi terbanyak di seluruh Indonesia. Di manapun tempat di
Nusantara, orang Jawa pasti selalu ada. Selain dikenal memiliki pribadi yang
ramah, orang-orang Jawa juga punya sejarah tradisi dan kebudayaan yang luar
biasa, sama seperti suku-suku lainnya. Hal ini dibuktikan misalnya dengan
banyaknya jenis tari, musik, rumah adat, dan upacara adat yang dimilikinya.
Upacara
Adat Jawa Upacara adat adalah suatu ritual yang dilakukan secara bersama-sama
oleh kelompok masyarakat yang masih memiliki keterkaitan etnis, suku, maupun
kebudayaan untuk mencapai tujuan yang bersumber pada nilai-nilai leluhur dan
nenek moyang mereka. Di Jawa sendiri, ada beberapa upacara adat yang tergolong
cukup unik dan harus dikenalkan pada genarasi muda agar warisan nenek moyang
ini tetap lestari dan terjaga. Upacara apa saja yang ada?
1.
Upacara Kenduren
Upacara adat Jawa yang pertama adalah
kenduren atau selametan. Upacara ini dilakukan secara turun temurun sebagai
peringatan doa bersama yang dipimpin tetua adat atau tokoh agama. Adanya
akulturasi budaya Islam dan Jawa di abad ke 16 Masehi membuat upacara ini
mengalami perubahan besar, selain doa hindu/budha yang awalnya digunakan
diganti ke dalam doa Islam, sesaji dan persembahan juga menjadi tidak lagi
dipergunakan dalam upacara ini.
Kenduren sebenarnya sangat banyak
macamnya, namun secara garis besar kenduren adalah adat istiadat untuk
bersyukur.
Berdasarkan tujuannya, upacara adat Jawa yang satu ini terbagi menjadi beberapa jenis yang diantaranya:
Berdasarkan tujuannya, upacara adat Jawa yang satu ini terbagi menjadi beberapa jenis yang diantaranya:
A.
Kenduren wetonan (wedalan) adalah upacara kenduren yang
digelar pada hari lahir seseorang (weton) dilakukan sebagai sarana untuk
memanjatkan doa panjang umur secara bersama-sama. Kenduren merupakan wetonan
upacara adat jawa tengah ( wedalan ) Di namakan wetonan sebab tujuannya buat
selametan pada hari lahir ( weton, jawa ) seseorang. Dan di lakukan oleh hampir
setiap warga, biasanya 1 keluarga 1 weton nan di rayain , yaitu nan paling tua
atau di tuakan dalam keluarga tersebut.
Kenduren ini upacara adat jawa tengah
yang dilakukan secara rutinitas setiap selapan hari ( 1 bulan ). Biasanya menu
sajiannya hanya berupa tumpeng dan lauk seperti sayur, lalapan, tempe goreng,
thepleng, dan srundeng. tak ada ingkung nya ( ayam panggang ).
B.
Kenduren sabanan (munggahan) upacara adat jawa tengah ini menurut
cerita tujuannya buat menaik kan para leluhur. Di lakukan pada bulan Sya'ban,
dan hampir oleh seluruh masyarakat di Watulawang dan sekitarnya, khususnya nan
adatnya masih sama, seperti desa peniron, kajoran, dan sekitarnya.
Siang hari sebelum di laksanakan
upacara ini, biasanya di lakukan ritual nyekar, atau tilik bahasa
watulawangnya, yaitu mendatangi makan leluhur, buat mendoakan arwahnya,
biasanya nan di bawa ialah kembang, menyan dan empos ( terbuat dari mancung ).
Tradisi bakar kemenyan memang masih
di percaya oleh masyarakat watulawang, sebelum mulai kenduren ini pun, terlebih
dahulu di di jampi jampi in dan di bakar kemenyan di depan pintu. Menu sajian
dalam kenduren sabanan ini sedikit berbeda dengan kenduren Wedalan, yaitu di
loka ini wajib memakai ayam pangang ( ingkung ).
C.
Kenduren
Likuran Kenduren
likuran upacara adat jawa tengah ini diselenggarakan setiap tanggal 21 bulan
Puasa (Ramadan). Kenduren ini dimaksudkan buat memperingati Nuzulul Quran dan
dilaksanakan dalam satu RT. Biasanya, bertempat di kediaman tetua masyarakat
atau ketua RT. Uniknya, makanan dalam kenduren ini dibawa oleh tiap-tiap
undangan dan biasanya terdiri atas lodeh krecek, sambal goreng kentang,
rempeyek kacang atau teri, kerupuk, lalapan, dan sambal.
D.
Kenduren
ba’dan Kendurenan
ini upacara adat jawa tengah diselenggarakan pada hari raya Idul Fitri.
Tujuannya ialah mengantarkan arwah leluhur kembali ke peristirahatannya.
Sebelum melakukan kenduren badan, didahului oleh acara nyekar ke makam leluhur
atau sanak saudara lain.
E.
Kenduren
Ujar Kenduren
ini di lakukan oleh keluarga tertentu yang punya maksud atau tujuan tertentu,
atau ayng punya ujar/ omong. Sebelum kenduren ini biasanya di awali dengan
ritual Nyekar terlebih dahulu. dan menu wajibnya, harus ada ingkung ( ayam
panggang ). Kenduren ini biasanya banyak di lakukan pada bulan Suro ( muharram
).
F. Kenduren muludan
Kenduren ini di lakukan pada tanggal 12 bulan mulud, sama seperti kenduren
likuran, di lakukan di tempat sesepuh, dan membawa makanan dari rumah masing-
masing. biasanya dalam kenduren ini ada ritual mbeleh wedus (motong kambing)
yang kemudian di masak sebagai becek dalam bahasa watulawang ( gulai ).
2.
Upacara
Grebeg
Selain upacara
kenduren, di Jawa juga dikenal Upacara Grebeg. Upacara ini digelar 3 kali
setahun, yaitu tanggal 12 Mulud (bulan ketiga), 1 Sawal (bulan kesepuluh) dan
10 Besar (bulan kedua belas). Upacara ini digelar sebagai bentuk rasa syukur
kerajaan terhadap karunia dan berkah Tuhan. Sedekah grebegan terdiri atas
gunungan kakung (lelaki) dan gunungan estri (perempuan). Gunungan kakung ini
berbentuk kerucut nan tersusun dari kacang panjang dan cabae merah, telur
bebek, sisi kanan kirinya diberi bendera Indonesia berukuran kecil. Gunungan
estri tersusun dari aneka penganan dari tepung beras, misalnya kue mangkok,
putu, dan lain-lain, nan ditempatkan dalam keranjang nan penuh rangkaian kembang
dan di bagian atas dihiasi bendera Indonesia kecil.
Ziarah ke
makam Sultan-Sultan Demak & Sunan Kalijaga
Grebeg Besar
Demak upacara adat jawa tengah diawali dengan aplikasi ziarah oleh Bupati,
Muspida dan segenap pejabat dilingkungan Pemerintah Kabupaten Demak,
masing-masing beserta istri/suami, ke makam Sultan-Sultan Demak dilingkungan
Masjid agung Demak dan dilanjutkan dengan ziarah ke makam Sunan Kalijaga di
Kadilangu. Kegiatan ziarah tersebut dilaksanakan pada jam 16.00 WIB; kurang
lebih 10 (sepuluh) hari menjelang tanggal 10 Dzulhijah.
Selamatan Tumpeng Sanga
Selamatan
Tumpeng Sanga dilaksanakan pada malam hari menjelang hari raya Idul Adha
bertempat di Masjid Agung Demak. Sebelumnya kesembilan tumpeng terebut dibawa
dari Pendopo Kabupaten Demak dengan diiringi ulama, para santri, beserta
Muspida dan tamu undangan lainnya menuju ke Masjid Agung Demak.
Penjamasan
pusaka peninggalan Sunan Kalijaga dilaksanakan oleh petugas dibawah pimpinan
Sesepuh Kadilangu di dalam cungkup gedong makam Sunan Kalijaga Kalijaga.
Sesepuh dan pakar waris percaya, bahwa ajaran agama Islam dari Rasulullah
Muhammad SAW dan disebar luaskan oleh Sunan Kalijaga ialah benar.
Oleh sebab itu
penjamasan dilakukan dengan mata tertutup. Hal tersebut mengandung makna, bahwa
penjamas tak melihat dengan mata telanjang, tetapi melihat dengan mata hati.
Artinya pakar waris sudah bertekad bulat buat menjalankan ibadah dan
mengamalkan agama Islam dengan sepenuh hati. Dengan selesainya penjamasan
pusaka peninggalan Sunan Kalijaga tersebut, maka berakhir pulalah rangkaian
acara Grebeg Besar Demak.
3.
Upacara Sekaten
Asal-usul
upacara sekaten upacara adat jawa tengah berasal dari Kerajaan Demak. Sebagai
kerajaan Islam, Kerajaan Demak sering memperingati berbagai kejadian besar
dalam sejarah Islam ke dalam berbagai upacara adat. Misalnya, sekatenan nan
sebenarnya diambil dari istilah Islam "syahadatan", yaitu sebuah
seremoni hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Sekatenan
ditandai dengan diadakannya pasar malam selama satu bulan sebelum upacara
sekatenan nan sebenarnya. Lalu, dikeluarkannya dua perangkat gamelan sakral,
Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton. Kedua gamelan ini dipajang
selama enam hari, yaitu mulai hari keenam sampai kesebelas di bulan Mulud.
Ketika hari ketujuh tiba, kedua gamelan ditabuh (dibunyikan) menandai seremoni
puncak.
Pada masa-masa
permulaan perkembangan agama Islam di Jawa, salah seorang dari Wali Songo,
yaitu Sunan Kalijogo, mempergunakan instrumen musik Jawa Gamelan, sebagai
wahana buat memikat masyarakat luas agar datang buat menikmati pergelaran
karawitannya. Untuk tujuan itu dipergunakan 2 perangkat gamelan, nan memiliki
laras swara nan merdu yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu.
Sebelum
upacara Sekaten upacara adat jawa tengah dilaksanakan, diadakan dua macam
persiapan, yaitu persiapan fisik dan spiritual. Persiapan fisik berupa
peralatan dan perlengkapan upacara Sekaten, yaitu Gamelan Sekaten, Gendhing
Sekaten, sejumlah uang logam, sejumlah kembang kanthil, busana seragam Sekaten,
samiruntuk niyaga, dan perlengkapan lainnya, serta naskah riwayat maulud Nabi
Muhammad SAW.
Untuk
persiapan spiritual, dilakukan beberapa waktu menjelang Sekaten. Para abdi
dalem Kraton Yogyakarta nan nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara
mempersiapkan mental dan batin buat mekar tugas sakral tersebut. Terlebih para
abdi dalem nan bertugas memukul gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan
berpuasa dan siram jamas.
4.
Ruwatan
Dalam masyarakat Jawa,ritual
ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu :
1.
Ritual ruwat untuk diri sendiri.
2.
Ritual ruwat untuk lingkungan.
3.
Ritual ruwat untuk wilayah.
Pada umumnya,
pangruwatan Murwa Kala dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang membawa
cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam
bidang ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan
menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi
tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dalang. Karena
pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang
cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran
wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan.
Proses ruwatan
seperti yang diterangkan ini bisa ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat,
namun pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup
lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu
pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.
Tradisi
“upacara /ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai
sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang
berdampak kesialan di dalam hidupnya. Dalam cerita “wayang“ dengan lakon
Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan
berkembang di dalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah
pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali,
atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin
dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang
mengambil tema/cerita Murwakala.
Dalam tradisi
jawa orang yang keberadaannya dianggap mengalami nandang sukerto/berada dalam
dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut
ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya
Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir
karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri DewiUma, yang kemudian
sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam
tradisi pewayangan disebut “Kama salah kendang gumulung “. Ketika raksasa ini
menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan
agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian
dicarikan solosi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual
ruwatan. Kata Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia)
,dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran : atas
ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta
bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).
Untuk pagelaran wayang kulit
dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sebagai berikut :
1. Alat musik jawa ( Gamelan )
2. Wayang kulit satu kotak (
komplit )
3. Kelir atau layar kain
4. Blencong atau lampu dari
minyak
5. Upacara Perkawinan Tradisional Jawa
Dalam pernikahan adat Jawa dikenal
juga sebuah upacara perkawinan yang sangat unik dan sakral. Banyak tahapan yang
harus dilalui dalam upacara adat Jawa yang satu ini, mulai dari siraman,
siraman, upacara ngerik, midodareni, srah-srahan atau peningsetan, nyantri,
upacara panggih atau temu penganten, balangan suruh, ritual wiji dadi, ritual
kacar kucur atau tampa kaya, ritual dhahar klimah atau dhahar kembul, upacara
sungkeman dan lain sebagainya.
6. Tedak Siten
Tedak siten merupakan
budaya warisan leluhur masyarakat Jawa untuk bayi yang berusia sekitar tujuh
atau delapan bulan. Tedak siten dikenal juga sebagai upacara turun
tanah. ‘Tedak’ berarti turun dan ‘siten’ berasal dari kata ‘siti’ yang berarti
tanah. Upacara tedak siten ini dilakukan sebagai rangkaian acara yang bertujuan
agar si kecil tumbuh menjadi anak yang mandiri.
Tradisi ini dijalankan saat si
kecil berusia hitungan ke-tujuh bulan dari hari kelahirannya dalam hitungan
pasaran jawa. Perlu diketahui juga bahwa hitungan satu bulan dalam pasaran jawa
berjumlah 36 hari. Jadi bulan ke-tujuh kalender jawa bagi kelahiran si bayi
setara dengan 8 bulan kalender masehi.
7. Upacara Tingkepan
Upacara
Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut
juga mitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh. Upacara ini
dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali.
Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi
semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang
sedang hamil dimandikan dengan air kembang setaman dan disertai doa yang bertujuan untuk
memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan
selamat dan sehat.
Menurut tradisi Jawa, upacara
dilaksanakan pada tanggal 7 , 17 dan 27 sebelum bulan purnama pada penanggalan
Jawa, dilaksanakan di kiri atau kanan rumah menghadap kearah matahari terbit.
Yang memandikan jumlahnya juga ganjil misalnya 5,7,atau 9 orang. Setelah
disiram, dipakaikan kain /jarik sampai tujuh kali, yang terakhir/ ketujuh yang
dianggap paling pantas dikenakan. Diikuti oleh acara pemotongan tumpeng tujuh
yang diawali dengan doa kemudian makan rujak, dan seterusnya. Hakekat dasar
dari semua tradisi Jawa adalah suatu ungkapan syukur dan permohonan kepada Yang
Maha Kuasa untuk keselamatan dan kenteraman, namun diungkapkan dalam bentuk
lambang-lambang yang masing-masing mempunyai makna.
8. Upacara Kebo-Keboan
Prosesi upacara adat
Kebo-keboan yang dilaksanakan setiap tahun oleh warga Desa Alasmalang. Awalnya
upacara adat ini dilaksanakan untuk memohon turunya hujan saat kemarau panjang,
dengan turunnya hujan ini berarti petani dapat segera bercocok tanam.
Puncaknya prosesinya adalah
membajak sawah dan menanam bibit padi di persawahan. Orang-orang yang
bertingkah seperti kerbau tadi dapat kesurupan dan mengejar siapa saja yang
mencoba mengambil bibit padi yang ditanam. Warga masyarakat Desa Alasmalang
berusaha berebut bibit padi tersebut, karena dipercaya dapat digunakan sebagai
tolak-balak maupununtuk keuntungan.
Masyarakat Banyuwangi yang
mayoritas petani menganggap ritual sakral ini sebagai wujud syukur
terhadap yang Maha Kuasa. Ritual ini menggunakan kerbau sebagai sarana upacara.
Namun, kerbau yang digunakan binatang jadi-jadian yakni manusia berdandan mirip
kerbau, lalu beraksi layaknya kerbau di sawah.
Ritual kebo-keboan digelar
setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa). Bulan ini
diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18 M.
Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang,
Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.
9. Upacara Larung Sesaji
Larung sesaji 1 suro adalah ritual setiap 1
suro yang bertujuan untuk melestarikan budaya adat Jawa. Ritual ini juga
sebagai wujud rasa syukur nelayan atas melimpahnya tangkapan ikan dan sebagai
doa tolak bala agar nelayan terhindar dari segala bahaya.Ritual ini hanya di
adakan pada tanggal 1 suro, kalau di Blitar biasanya di selenggarakan di Pantai
Serang dan Pantai Tambakrejo.Biasanya acara ini di awali dengan tarian-tarian
yang bertujuan untuk menyambut para tamu yang hadir seprti bapak Bupati Blitar
serta dari Dinas Impopar dan juga segenap pejabat Pemda.Ritual ini di
selenggarakan setiap tahun nya untuk memperingati tahun baru Islam (1 Muharam).
Upacara
Larung ini juga bisa menarik wisatawan karena masih kental dengan adat dan
budaya Jawa.Upacara Larung Sesaji ini sangat sakral dan di percaya oleh warga Desa
Serang dan sekitarnya sebagai warisan budaya leluhur.Semua pengikut dan
undangan setiap pelaksanaan Larung Sesaji di Pantai Serang di laksanakan
berdasarkan adat jawa dengan memakai pakaian khas orang Jawa atau
Kejawen.Sedangkan pelaksanaan Larung Sesaji di lengkapi dengan Tumpeng Agung
setinggi 1,5 meter.Tumpeng Agung juga di hiasi dengan buah-buahan dan hasil
bumi warga Desa Serang contohnya ubi,ketela pohong,jagung,kacang tanah, pepaya,
dan pisang yang di rakit dan di tempatkan di atas alas dari anyaman bambu
seluas 7 meter2. Berbagai sesaji juga dibawa sebagai kelengkapan ritual
termasuk kepala sapi/lembu .Sebelum di berangkatkan para sesepuh desa
melaksanakan selamatan yang di ujubkan oleh pawang desa di tempat yang sudah di
tentukan sejak jaman dahulu dari nenek moyang abdolnya di depan joglo.Selesai
selamatan bisa disusun persiapan pemberangkatan Upacara Larung.Di urutan
pertama arak-arakan para sesepuh desa membawa sesaji dan tabur bunga di
belakangnya terdapat Tumpeng Agung.Di belakang Tumpeng Agung ada para ibu-ibu
petani yang membawa ranjang berisi sayur-sayuran dan hasil bumi lainnya serta
siap untuk di larung.Kemudian belakangnya dari kesenian jaranan turonggo
samudro dari Desa Serang Kecamatan Panggungrejo Kabupaten Blitar yang memiliki
pemeran barongan yang indah dan menyeramkan dengan tubuh yang hitam kekar.Di
belakangnya para sesepuh dan pejabat desa serta Pak Camat, semua
perangkatnya,kemudian Bapak Bupati Blitar dan juga semua pejabat Pemda tak
kalah pentingnya juga para pejabat impopar yang selalu memandu jalannya ritual
larung sesaji yang dilaksanakan di Pantai Serang setiap 1 Suro.
Arak-arakan
sangatlah ramai karena jarak dari tempat sesaji dan laut membutuhkan waktu 20
menit sudah sampai di pinggiran pantai.Sesampainya di pinggiran pantai sesepuh
desa berdoa agar Tumpeng Agung di terima oleh Yang kuasa.Selesai doa Tumpeng
Agung langsung di terima oleh pasukan nelayan yang siap melarungkan Tumpeng
Agung dengan jumlah 8 orang nelayan.Tumpeng Agung telah di letakkan di perahu
dan melaju ke tengah laut di sertai lemparan hasil bumi yang di bawa oleh
ibu-ibu petani.Setelah para nelayan sampai di tengah laut Tumpeng Agung
langsung di lepas oleh para nelayan dan di bawa ombak ke samudra luas itu
membuktikan Tumpeng Agung telah di terima oleh Yang Kuasa.Selesailah sudah
Upacara Ritual Larung Sesaji yang di laksanakan setiap 1 suro di Pantai
Serang.Ritual larung sesaji menjadi tontonan menarik bagi ribuan warga yang
datang tidak hanya berasal dari Blitar saja.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian panjang diatas dapat diambil kesimpulan bahwa banyak sekali upacara
tradisional yang ada di adat Jawa. Mulai dari upacara dalam rangka syukur,
tolak bala, penyambutan sesuatu, hingga perkawinan. Tradisi ini sudah ada sejak
jaman dulu dan masih dilakukan sampai sekarang, begitu juga nilai-nilai yang
terkandung didalamnya memiliki arti sendiri bagi masyarakat Jawa khususnya yang
melakukan upacara atau ritual adat tersebut. Dengan demikian kita sebagai warga
Negara Indonesia tidak hanya suku Jawa saja harus tetap melestarikan budaya
yang telah diwariskan oleh nenek moyang agar jati diri bangsa kita yang kaya
akan kultur budaya tidak akan hilang oleh kemajuan budaya lain dari luar.
Hubungi : 0822 – 9914 – 4728 (Rizky)
BalasHapusMenikah adalah tujuan dan impian Semua orang, Melalui HIS Graha Elnusa Wedding Package , anda bisa mendapatkan paket lengkap mulai dari fasilitas gedung full ac, full carpet, dan lampu chandeliar yg cantik, catering dengan vendor yang berpengalaman, dekorasi, rias busana, musik entertainment, dan photoghraphy serta videography.
Kenyaman dan kemewahan yang anda dapat adalah tujuan utama kami.